twitter
rss

perpustaaan darurat di Klangon
-cerita awal erupsi November 2010 yang lalu- 

Gunung Merapi erupsi, siswa diliburkan karena mengungsi. Itulah yang terjadi pada ratusan, bahkan ribuan anak-anak sekolah dilereng gunung Merapi beberapa bulan lalu. Dusun Paten adalah salah satunya. Dengan jarak yang hanya 6 kilometer dari puncak gunung paling aktif di dunia itu, praktis Dusun ini dikosongkan selama masa kritis. Penduduk Dusun harus mengungsi, sementara pemerintah tidak siap dengan penanganan kegiatan belajar mengajar selama dipengungsian. Secara otomatis, sekolah diliburkan.
Dua bulan dipengungsian, siswa hanya sesekali menyentuh buku. Memang ada beberapa kelompok mahasiswa KKN yang mendampingi mereka, tetapi, tidak semua tertarik mengikuti kegiatan, kecuali dengan iming-iming bingkisan tertentu. 

pepustaakan darurat di Bumirejo - dalam tenda
Awal interaksi kami dengan anak-anak SD asal Paten terjadi ketika pada erupsi pertama kami menjadi tenaga relawan di pengungsian. Dibawah guyuran hujan abu dan pasir, kami menjalani hari-hari bersama ribuan pengungsi. Lokasi pengungsian yang menempati sebuah lapangan sepakbola, membuat kami harus tidur dibawah bangunan tenda.
tenda darurat untuk belajar
Waktu terasa berjalan terlalu lambat saat itu. Pada tiga hari pertama, kami merasa anak-anak adalah kelompok umur yang kurang diperhatikan. Sebagian besar kelompok relawan dan petugas masih bergelut dengan permasalahan darurat hidup. Makan, minum, kesehatan, sanitasi, dan banyak permasalahan lainnya dikerjakan waktu demi waktu. Tetapi, bermain dan belajar sama sekali tidak. Anak-anak yang berlarian kesana kemari, tanpa ada yang mendampingi menjadi pemandangan sehari-hari.
perpustakaan di Balai Desa - saat kondisi memungkinkan buku dipindah ke luar tenda
Kami prihatin, mereka harus diperhatikan. Setelah berembug, akhirnya kami memutuskan untuk membuat sebuah sudut bermain dan membaca. Dengan bambu dan terpal seadanya, kami membuat sebuah tenda berukuran 2x5 meter. Kemudian, dari kawan-kawan kampus kami berusaha meminta bantuan buku-buku bacaan.
Harapan kami tidak terlalu berlebih kala itu, hanya ingin menemani mereka bermain dan memfasilitasinya. Tetapi, kenyataan berkata lain. Kami sungguh kaget ketika beberapa anak bermain, dan kami coba untuk berbincang. Salah seorang relawan yang berasal dari luar jawa awalnya mencoba mengakrabkan diri dengan mereka.
“Saya dari Makassar, kamu tau itu dimana?” buka si relawan kepada seorang bocah.
“Makassar itu ada di Sumatera” jawab si bocah setelah berpikir agak lama. 
Entah kesengajaan, atau memang bocah laki-laki itu betul-betul tidak mengerti. Bocah kelas 4 Sekolah Dasar itu rasa-rasanya betul tidak mengetahui jawabannya salah. Relawan kami sempat menganggap jawaban bocah itu hanya kelakar semata.
Akhirnya kami sadar, anak itu bersungguh-sungguh. Berangkat dari kenyataan itu, kami kemudian bersepakat, dan memutuskan untuk turut memerangi keterasingan informasi mereka seusai keadaan darurat bencana selesai.


0 komentar:

Posting Komentar